Dari PCINU Jerman untuk Indonesia: Memperkuat Potensi Umat Islam Melalui Waqaf dan Pendidikan

Dari PCINU Jerman untuk Indonesia: Memperkuat Potensi Umat Islam Melalui Waqaf dan Pendidikan

Penulis: Rangga E. Saputra

“Pada tahun 2036 Indonesia akan dianugerahi jumlah angkatan kerja – bonus demografi dengan jumlah usia produktif – yang melimpah. Potensi ini akan menjadi anugerah jika kualitas sumber daya manusianya berkualitas. Namun akan menjadi bencana jika sebaliknya,” ujar Prof. KH. Muhammad Nuh, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, periode pemerintahan RI 2009-2014.

Prof. Nuh mengibaratkan umat Islam di Indonesia sebagai “Giant Lake”; airnya tenang, luas, dan indah dipandang. Namun itu saja tidak cukup. Air danau itu harus juga dialirkan untuk menghasilkan energi. Potensi jumlah umat Islam yang besar – ibarat air dalam danau – haruslah diberdayakan untuk menunjang kesejahteraan bangsa dan umat Islam itu sendiri. Salah satu potensi umat Islam yang sangat penting adalah dalam bidang waqaf.

Topik tersebut disampaikan dalam Seminar Internasional yang bertajuk “Pemberdayaan Potensi Ekonomi Masyarakat melalui Waqaf serta Pengelolaan Perguruan Tinggi Berbasis Santri untuk Kemajuan Bangsa dan Negara”. Kegiatan diselenggarakan oleh PCI NU Jerman pada tanggal April 2019 dan dibuka oleh Duta Besar Republik Indonesia untuk Jerman, HE. Arief Havas Oegroseno, di Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia, Berlin.

Hadir sebagai pembicara adalah Prof. Dr. KH. Muhammad Nuh (Ketua Badan Waqaf Indonesia), Prof. Dr. Achmad Jazidie (Rektor UNUSA), dan Prof. Kacung Maridjan, PhD (Wakil Rektor I UNUSA). Dihadiri juga oleh para pengurus dan jamaah NU dari berbagi kota di Jerman dan beberapa negara Eropa. Kegiatan dimulai dengan Istigosah dan Mauidhoh Hasanah.

Dalam sambutannya, Muhammad Rodlin Billah (Gus Oding), Ketua Dewan Tanfiziah PCINU Jerman, menuturkan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat silaturahmi dan konsolidasi jamaah NU di Jerman. “Selain sebagai sarana silaturahmi jamaah NU se-Jerman, konferensi ini untuk mengonsolidasi gagasan-gagasan kontribusi NU dalam pembangunan bangsa. Hal ini penting karena pada tahun 2026 NU akan genap berusia 100 tahun”, tambah Gus Oding dalam sambutannya.

Prof. Nuh menambahkan bahwa Indonesia mempunyai modal yang besar untuk menjadikan waqaf sebagai penopang pembangunan bangsa. Yaitu modal populasi umat Muslim serta modal sosialnya. Sebagai negara dengan jumlah umat Muslim terbesar di dunia, jika potensi waqaf digerakkan, pembangunan infrastruktur dan manusia akan bisa lebih cepat ditingkatkan. “Bahkan jika potensi waqaf dimaksimalkan, Indonesia tidak perlu hutang untuk pembiayaan infrastruktur,” tambahnya.

Selanjutnya, modal sosial umat Islam adalah berupa budaya dan nilai. Waqaf telah menjadi budaya masyarakat Muslim hampir di seluruh Nusantara. Misalnya di kampung-kampung banyak masjid, musala, sekolah, rumah sakit, makam, dan sebagainya yang berdiri di atas tanah waqaf. Bahkan berdasarkan CAF World Giving Indeks ranking, masyarakat Indonesia merupakan yang paling dermawan di dunia.

Dengan potensi yang ada, beberapa usaha perlu dilakukan untuk memaksimalkan potensi waqaf di Indonesia. Pertama, menumbuhkan kesadaran untuk berwaqaf, khususnya kepada generasi millenial. Perlu dilakukan sosialisasi mulai dari tingkat sekolah dan kampus. Karena generasi mereka inilah yang nantinya akan menempati usia angkatan kerja. Kedua, perlu membentuk ekosistem waqaf. Bisa melalui regulasi serta sinergi antar lembaga pemerintah dan masyarakat yang mendorong perkembangan waqaf.

Menyambung gagasan Prof. Nuh, ditambahkan oleh Prof. Kacung Maridjan bahwa dari perspektif sejarah politik Indonesia, partai Islam tidak pernah menjadi pemenang dalam pemilu (single majority party). Pemenang pemilu selalu didominasi oleh partai nasionalis; jika tidak dibilang sekuler. Namun, dalam sejarah Indonesia agama tidak bisa dipisahkan dari kebijakan publik. Contohnya, terdapat undang-undang waqaf, haji, serta beberapa institusi yang mengatur kehidupan keagamaan masyarakat, seperti Kementerian Agama dan Peradilan Agama.

Artinya, komitmen partai-partai politik –apapun ideologinya – atau pun institusi politik lainnya terhadap urusan publik terkait umat Muslim sudah sangat kuat. Lembaga pendidikan seperti ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama), yang merupakan cikal bakal IAIN (Institut Agama Islam Negeri), didirikan pada era Sukarno. Bahkan transformasi IAIN menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) terjadi pada periode Presiden Megawati. Artinya, menggerakkan potensi waqaf umat Islam sangat mungkin dalam kondisi struktur dan budaya politik di Indonesia.

Terakhir, Prof. Achmad Jazidie, mengingatkan kembali bahwa dalam sejarahnya NU dibangun di atas tiga pilar: Nahdlatul Tujjar (ekonomi/kesejahteraan), Taswirul Afkar (pemikiran/intelektualitas), dan Nahdlatul Wathan (Kebangsaan). “Untuk urusan kebangsaan, sudah selesai bagi NU. Komitmen NU terhadap NKRI dan Pancasila sudah final. Bahkan NU menjadi benteng eksistensi negara bangsa Indonesia. Namun tantangan bagi NU saat ini adalah dalam dua bidang lainnya, yaitu kesejahteraan dan pendidikan” ujar Prof. Jazidie.

Pada era Reformasi ini terbuka kesempatan bagi NU untuk mengembangkan institusi pendidikan berbasis santri. Mulai dari pendidikan dasar sampai tinggi. Bahkan saat ini perguruan tinggi NU sudah banyak berdiri, diantaranya UNUSA, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya. Melalui universitas ini, kontribusi NU dalam bidang pendidikan terlembagakan. Berbeda dengan masa Orde Baru di mana banyak lembaga-lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan NU, namun tidak menunjukkan jati diri NU karena alasan politis tertentu.

“Diharapkan lembaga-lembaga pendidikan NU memberikan ruang untuk para santri, yang selama ini kerap dipandang “terbelakang”, untuk melakukan mobilisasi vertikal. Sehingga melalui lembaga pendidikan ini, lahirlah para santri yang berkontribusi dalam pembangunan bangsa dalam segala bidang”, tambah Prof. Jazidie.

Tinggalkan Balasan