Sakeco, Seni Lisan Kuno Suku Sumbawa: dari menabuh rebana hingga musik reggae

Sakeco, Seni Lisan Kuno Suku Sumbawa: dari menabuh rebana hingga musik reggae

(oleh: Annisa Hidayat / Mahasiswi S2 Universität Hamburg)

Pada tanggal 3 Mei 2019 Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Hamburg bekerja sama dengan IASI – Jerman serta Bidang Studi Indonesia/Melayu – Universitas Hamburg telah menyelenggarakan acara ‚dialegtika‘ ke-2 untuk tahun 2019. Bertempat di Asien-Afrika-Institut, Uni Hamburg. Topik yang disajikan adalah tentang eksplorasi perkembangan seni Sakeco – Sumbawa. Pemakalah: Annisa Hidayat, mahasiswi S2 di Jurusan Asia Tenggara – Universitas Hamburg.

 

Sakeco adalah pertunjukan seni tradisional suku Sumbawa di Pulau Sumbawa. Dikenal juga sebagai musik sufi karena isinya mengandung makna filosofis. Ceritanya menggambarkan pesan cinta kepada Tuhan dan kebaikan dalam menjalani kehidupan.

Sakeco kini telah mengalami banyak perubahan. Tidak hanya dalam puisi atau liriknya yang berfungsi sebagai media komunikasi dan penyebaran ajaran Islam, tetapi juga pada musiknya. Lirik sakeco sebelumnya lebih tentang pengungkapan cinta kepada Tuhan. Kini mencakup juga tentang percintaan manusia, kehidupan remaja, suami istri, dan bahkan seksualitas. Sedangkan dalam unsur music dikenal genre sakeco regae sebagai sakeco modern.

Dalam penampilannya, sakeco melibatkan dua pemain yang berperan sebagai penyanyi cerita (story teller) yang juga harus bisa bermain rebana sebagai musik pengiring. Mereka akan berkicau, artinya saling bersahutan dalam menyelesaikan sebuah paragraf dari sebuah cerita dan kemudian melanjutkannya ke lirik berikutnya. Sakeco biasanya tampil pada pesta-pesta pernikahan, acara keagamaan (seperti Maulid Nabi Muhammad), festival budaya, dan upacara penyambutan. Ceritanya disampaikan dalam beragam tema, misalnya tentang hubungan pemuda, kasus perceraian, fenomena politik dan sosial, dan lain-lain. Oleh karena itu, sakeco dianggap sebagai puisi yang berbentuk naratif. Cerita dalam sakeco umumnya terdiri dari sebuah pembukaan yang berisi ucapan selamat datang dan terima kasih kepada penonton. Selanjutnya, bagian pembukaan diikuti dengan inti cerita atau isi berupa ringkasan cerita. Bagian terakhir adalah penutupan yang biasanya merupakan lelucon sensual.

Sakeco Sumbawa saat ini dianggap sebagai salah satu pertunjukan seni tradisional Sumbawa yang harus dilestarikan. Sayangnya, latar belakang sejarah seni ini masih misterius. Sejauh ini, baru sedikit artikel tentang seni tradisional masyarakat Sumbawa yang telah ditulis oleh ilmuwan etnografi atau ahli musik budaya. Juga hingga saat ini belum banyak yang meneliti tentang sejarah sakeco. Sebagai sastra lisan, sakeco adalah literatur lisan yang terus berkembang tanpa diketahui siapa yang pertama kali menciptakan seni pertunjukan tradisional ini. Berdasarkan cerita dari mulut ke mulut, istilah ‘sakeco‘ berasal dari dua orang tua yang bernama ‘Sake’ dan ‘Co’; masing-masing diambil dari nama ‚Zakariah‘ dan ‚Syamsudin‘. Keduanya disebut sebagai yang pertama kali membawakan kesenian tradisional sakeco.

Dalam ekplorasi maknanya, secara literal istilah sakeco berasal dari kata ‘keco‘ (bahasa Sumbawa) yang berarti ‘kicau‘ dalam bahasa indonesia. Di Sumbawa, arti keco mirip dengan istilah untuk suara burung juga merupakan makna puitis untuk dikatakan kepada orang yang suka berbunyi. Di Sumbawa orang yang suka terdengar suaranya, bernyanyi, berpikir, atau mampu menceritakan atau mengembangkan dikatakan memiliki keco yang baik. Istilah ‘na nyaman keco na’ atau kicauan yang nyaman berarti betapa indahnya orang berbicara atau berpidato. Artinya nembangnya yang indah (bernyanyi) atau bicaranya enak didengar. Bila seseorang terlihat begitu pendiam, maka di Sumbawa orang tersebut dikenal dengan istilah ‘nonya keco na’ atau ‘tidak berkicau’. Artinya, orang tersebut tidak vokal, tidak bisa mengungkapkan pendapat, atau tidak bernyanyi bersama saat dalam bermain, bisa juga dikatakan orang tersebut tidak ada kabar berita. ‘Sakeco‘ bisa dikatakan memiliki arti bernyanyi, karena sakeco dinyanyikan oleh dua orang yang saling bersahutan seperti burung bernyanyi dan saling menyambut satu sama lain.

Sakeco mengalami perkembangan yang cukup besar sejak Kecamatan Sumbawa Barat mengalami pemekaran sebagai Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) pada 2003, penyelenggaraan festival-festival, dan kompetensi budaya antar daerah. Keadaan ini membuat komunitas budaya yang ikut serta dalam setiap festival juga ingin terus berkembang menjadi yang terbaik. Tidak hanya pertandingan antar daerah, melainkan juga antar sekolah SD, SMP, dan SMA yang kemudian memunculkan penampil-penampil seni dan karya-karya seni yang baru, termasuk kesenian sakeco. Pada awal 2009 program pemerintah tentang pariwisata dan budaya juga sangat banyak. Budaya diyakini sebagai bagian terpenting dari program pariwisata, sehingga melahirkan genre sakeco baru, yaitu sakeco reggae sebagai sakeco modern yang tidak lagi tampil dengan rebana, melainkan musik elektronik. Evolusi sakeco menjadi reggae karena pengaruh berkembangnya pariwisata Indonesia pada umumnya, dan pariwisata Lombok dan Sumbawa khususnya. 2009-2010 adalah awal periode trend berpariwisata sebagai gaya hidup, seiring dengan berkembangnya teknologi digital. Banyak bermunculan promo perjalanan wisata di media social. Program pemerintah bagian kebudayaan dan pariwisata misalnya dengan program “wonderful Indonesia”: Visit Lombok Sumbawa 2010 sampai sekarang. Isi sakeco reggae adalah tentang pariwisata, keindahan alam Sumbawa, khususnya pantainya. Lirik bahasa Inggrisnya “welcome to Indonesia” sebagai komunikasi kepada masyarakat dunia yang lebih luas.

Humor sensual sebagai penutup lirik akhir sakeco disebut racikan, semata-mata sebagai hiburan atau humor agar suasana menjadi meriah, dan diharapkan masyarakat ikut tertawa dengan lelucon-lelucon. Kebanyakan dimainkan oleh orang-orang tua pada acara pernikahan. Dalam perkembangannya, kita harus melihat situasi masyarakat Indonesia secara keseluruhan pada masanya. Pada jaman Orde Baru (1980-1990an) humor-humor sensual mengalami perkembangan dalam media seni, contohnya: Warkop DKI, buku-buku cerita karangan Enny Arrow atau Fredy S, novel-novel panas atau novel dewasa yang juga publikasinya ikut masuk ke Sumbawa dengan harga yang sangat murah. Apalagi pada pemerintahan Orde Baru belum ada peraturan pemerintah yang ketat mengenai pornografi.

Kesimpulan:

Sakeco adalah tradisi lisan yang harus dilestarikan dan perlu penelitian lebih lanjut tentang sejarahnya. Perkembangan sakeco mengikuti perkembangan jaman, khususnya teknologi dan sosial masyarakat. Sakeco reggae adalah contoh perkembangan sakeco yang mendapat pengaruh jaman. Lirik yang paling dimainkan kebanyakan cerita tentang nilai-nilai agama Islam sebagai pesan utama. Perkembangan selanjutnya meliputi pesan religius hingga lelucon sensual, kisah hubungan muda mudi, istri-suami, pariwisata, politik, narkoba, dan nasionalisme. Perkembangan humor sensual sangat dipengaruhi oleh perkembangan kondisi masyarakat pada masa itu.

Saat ini, Islam menjadi topik yang paling menarik untuk diteliti. Dalam sebuah wawancara dengan Goenawan Mohamad di sebuah promosi video Frankfurt Book Fair 2015 disebutkan bahwa dari 28 seminar internasional yang dilakukan oleh Indonesia sebagai Tamu Kehormatan dalam pameran buku internasional tersebut, banyak peserta tertarik untuk mengeksplorasi Islam secara lebih mendalam. Pilihan seni kuno sakeco yang telah dipentaskan di Pasar Hamburg dan Frankfurt adalah bukti bahwa literatur lisan kuno sangat mendapat pengakuan dunia dan perlu dihargai serta dipelihara. Yang menjadi tantangan saat ini adalah seni sakeco masih jarang ditemukan dalam pendokumentasian sejarah. Dengan demikian, sakeco menjadi salah satu topik tradisi sastra kuno Nusantara yang sangat perlu untuk terus diteliti.

Tinggalkan Balasan