Interreligious Dialogue: Religious Tolerance in a Multicultural Society

Interreligious Dialogue: Religious Tolerance in a Multicultural Society

Oleh:  Maraike J.B. Bangun - Mahasiswi PhD Bidang Teologi di Universitas Hamburg

 

Pada tanggal 1 Desember 2018 telah berlangsung kegiatan dialog antaragama yang diselenggarakan oleh Dimension Journal for Humanities and Social Sciences (DJHSS) yang berkolaborasi dengan Departemen Studi Asia Tenggara di bawah Universitas Hamburg dan Ikatan Ahli dan Sarjana Indonesia di Jerman (IASI). Kegiatan yang mengambil tempat di Missionsakademie-Universitas Hamburg mengundang Badan Kerja Sama Antar Umat Beragama Sulawesi Utara (BKSAUA-Sulut) dan turut didukung oleh Pemerintah Daerah Sulawesi Utara.

Delegasi dari BKSUA diwakili oleh 10 orang.  Juga hadir perwakilan dari Konsulat Jenderal RI di Hamburg,  Perhimpunan Jerman – Indonesia (DIG – Hamburg), para mahasiswa Jurusan Asia Tenggara – Universitas Hamburg, perwakilan Missionsakademie  – Universitas Hamburg, dan berbagai tamu lainnya dari beberapa institusi di Jerman.

Dialog antaragama ini merupakan tindaklanjut dari pertemuan dialog antaragama pada tanggal 13 Juni 2018 di Asien-Afrika-Institut, Universitas Hamburg. Acara dimulai dengan kata sambutan dari Dr. Uta Andree, Direktur Program Missionakademia-Universitas Hamburg, dengan memperkenalkan Missionsakademie sebagai sebuah institusi di bawah naungan Universitas Hamburg yang menekankan pentingnya dialog antar umat beragama dan budaya pada level akademis. Sesudah sambutan, kegiatan dibuka dengan doa berantai oleh perwakilan enam agama di Indonesia serta satu perwakilan dari gereja di Jerman.

Pembicara pertama dalam kegiatan ini adalah Prof. Werner Kahl, salah satu pimpinan di Missionsakademie-Universitas Hamburg, dengan tema makalah “Jews, Christians, and Muslims as Faith Relatives within the Same Monotheistic Family.”  Sebagai pembicara yang mewakili Missionsakademie, Prof. Kahl menekankan pengertian misi Kristen pada masa kini, yaitu misi dialog interkultural dan keagamaan. Misalnya dengan adanya perjumpaan antara Kristen dan Islam di Jerman yang semakin nyata yang salah satu pendorongnya adalah karena kedatangan banyak pengungsi di Jerman. Pengalaman ini mendorong gereja di Jerman untuk kemudian membangun sebuah hubungan yang positif dengan mereka yang memeluk agama Islam. Salah satu pendekatan yang dipaparkan Prof. Kahl adalah pentingnya untuk mendengarkan secara saksama, sabar, dan kritis, serta dengan mengeksplorasi berbagai kesamaan antara Islam dan Kristen. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Prof. Kahl misalnya dengan menelusuri hubungan diakronis antara agama-agama Abraham, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam, dengan membandingkan bahasa Arab pada abad ke-17 dengan teks Alkitab dalam bahasa Siria. Ia menyimpulkan bahwa Islam merupakan sebuah upaya refleksi kritis atas tradisi Yahudi dan Kristen yang telah ada sebelumnya. Oleh sebab itu, Allah yang dituju adalah Allah yang sama yang secara kritis direfleksikan dalam kisah Abraham, Yesus, dan tokoh-tokoh lainnya. Sebagai contoh konkret, alasan Abraham untuk meninggalkan keluarganya tidak diberikan di dalam Alkitab, tetapi ada di dalam Al-Quran, yaitu karena politeisme. Salah satu kesamaan lainnya adalah dua perintah Allah, yaitu untuk mengasihi Allah dan sesama makhlukNya. Oleh sebab itu, menurutnya, orang Kristen perlu menyadari secara serius bahwa umat Islam percaya kepada Allah yang sama yang disembah oleh orang Yahudi dan orang Kristen.

Pembicara kedua adalah Dr. Richard Siwu yang mewakili BKSAUA-Sulut dengan judul makalah “Religious Tolerance and Harmony in a Plural Society.” Berbeda dengan pendekatan Prof. Kahl yang menggunakan pendekatan teologis dalam mencari landasan bagi dialog antaragama monoteistik, Dr. Siwu menggunakan pendekatan sosiologis dengan memaparkan istilah “Torang Semua Basudara” (Kita Semua Bersaudara). Dr. Siwu memulai dengan memaparkan perkembangan keagamaan secara global yang dipengaruhi oleh globalisasi yang membuat kita menjadi warga dunia, sehingga kita perlu menyadari pentingnya hidup bersama secara inklusif, terbuka, dan harmonis. Demi mewujudkan hal ini, para tokoh agama di Sulawesi Utara menggunakan kearifan lokal “Torang Semua Basudara” sebagai landasan untuk hidup bersama dalam perbedaan. Salah satu contoh konkretnya adalah posisi Ketua BKSAUA yang digilir berdasarkan enam agama resmi yang diakui di Indonesia. Kepemimpinan yang ada tidak ditentukan oleh “mayoritas-minoritas.” Lebih lanjut lagi, Dr. Siwu menjelaskan bahwa istilah “Torang Semua Basudara” pun mengalami perluasan makna menjadi “Torang Samua Ciptaan Tuhan.” Implikasinya tidak hanya mencakup seluruh manusia yang berbeda-beda, tetapi juga mencakup ciptaan Tuhan lainnya, seperti alam dan hewan. Dengan demikian salah satu tugas umat beragama bukan hanya hidup secara rukun, tetapi juga merawat ciptaan Tuhan lainnya. Secara umum, BKSAUA yang dibentuk oleh Gubernung H. V. Worang pada 25 Juli 1969, merupakan mitra pemerintah daerah Sulawesi Utara dalam mengatasi masalah-masalah antaragama.

Pembicara ketiga adalah Mu’ammar Zayn Qadafy, M.A., seorang cendikiawan Islam yang sedang mengambil program Doktor di Universitas Freiburg, Jerman. Judul presentasinya adalah “Building the Interfaith Trust in Indonesia: Combining Synchrony and Diachrony in the Quranic Prohibition to Ally with People from Other Religion” yang berangkat dari kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau “Ahok” atas Surat Al-Maida 51. Pertanyaan mendasar yang dikaji oleh Qaddafi adalah apakah orang Islam tidak dapat bekerja sama dengan penganut agama lainnya. Berbeda dengan berbagai pendekatan yang selama ini digunakan dalam membaca surat ini, Qaddafi menggunakan Pendekatan Semantik Historis (Historical Semantic Approach). Ia menghitung berapa banyak penggunaan kata Awlia (pemimpin/teman), Ansor (pendukung) dan A’da (musuh) di dalam Alquran secara umum untuk memperlihatkan bahwa penekanan Alquran secara umum terletak pada  Awlia, Ansor dan barulah A’da. Selain itu, ia memperlihatkan pergeseran penggunaan kata Awlia dan A’da dalam sejarah Islam pada periode Mekkah dan Medinah. Salah satu kesimpulan inti dari makalah pembicara ketiga ini adalah bahwa dalam worldview Al-Qur’an, yang dijadikan musuh utama adalah setan. Sementara permusuhan terhadap kelompok-kelompok tertentu sangat sedikit jumlahnya dan sangat terikat dengan konteks historis periode Madinah.

Setelah para pembicara selesai memaparkan presentasi mereka pada sesi pagi hari, acara dilanjutkan dengan istirahat makan siang. Setelah itu, kegiatan dilanjutkan dengan dialog bersama. Para peserta sangat antusias dalam bertanya dan memberikan pendapat-pendapat pribadi mereka tentang isu-isu tertentu, seperti tentang terjemahan Alkitab, tafsiran atas Surat Al-Maida 51, relasi Islam dan Kristen di Jerman dalam konteks banyaknya pengungsi yang datang, pandangan MUI tentang agama-agama lainnya, termasuk Ahmadiyah, dan pertanyaan-pertanyaan serta pendapat-pendapat lain-lainnya. Salah satu masukan peserta yang sangat penting dalam dialog ini adalah saran untuk diberikannya porsi dan kesempatan bagi perwakilan-perwakilan agama selain Islam dan Kristen, untuk turut mempresentasikan makalah mereka, agar percakapan yang ada tidak hanya didominasi oleh diskusi antara Islam dan Kristen. Bahkan juga disarankan bahwa untuk ke depannya ruang lingkup dialog agar dapat diperluas dengan menyuarakan semua perwakilan agama yang resmi diakui di negara Indonesia.

Akhir dari kegiatan ini ditutup dengan foto bersama.

Koordinator acara:
1) Dr. Margaretha Liwoso (Dimension Journal of Humanities and Social Sciences)

2) Yanti Mirdayanti, M.A. (Indonesian/Malay Studies, Universität Hamburg)

3) Yudi Ardianto, MSc. (Ikatan Ahli dan Sarjana Indonesia IASI e.V.)

Tinggalkan Balasan