Catatan Kecil Kebangkitan Nasional 2015

Catatan Kecil Kebangkitan Nasional 2015

Oleh: Syaiful Rahman Soenaria, Vice President Ikatan Ahli Sarjana Indonesia dan Jerman

 

Istiqamah dalam menggagas dan melakukan advokasi gagasan alternatif terhadap pembangunan nasional di Indonesia yang lebih sesuai dengan Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 menjadi sebuah keniscayaan.
Mengapa? Saat ini haluan kebijakan negara kita sudah sangat liberal, dan bisa saya katakan bahwa musuh yang nyata merongrong Pancasila saat ini adalah liberalisme.

 

Jauh ke belakang dimana liberalisme dicetuskan:
1. Hayek menggagas liberalisme tahun 1940-an terutama dalam bukunya Road to Serfdom karena suasana fasisme Nazi di Eropa yang menakutkan. Jadi konteks sosial di Eropa saat beliau menulis patut kita perhatikan, sama seperti Adam Smith yang menganjurkan Perdagangan Bebas 1776 sebagai kritik dan reaksi beliau terhadap Feodalisme di Eropa. Saya berhipotesis andai kedua beliau hidup kembali saat ini, akan melakukan revisi terhadap gagasan liberalisme dan perdagangan bebas.
2. Adapun Milton Friedman saya tak memperhitungkan beliau. Jelas tidak lama setelah dapat nobel ekonomi, beliau pidato di kampus: “Kadang orang memperoleh berkah dari kegagalan yang dialaminya. Contohnya saya: bila teori saya terbukti benar dan dijalankan negara/masyarakat, maka saya tidak akan dapat hadiah nobel. Saya berpandangan bank sentral itu tak perlu ada, serahkan ke mekanisme pasar. Karena teori saya tidak diakui/dijalankan orang, maka bank sentral tetap ada dan saya dapat hadiah nobel dari bank sentral Swedia.”
Kira-kira demikian isi pidatonya.
Kembali ke Indonesia, sejak keluarnya UU Penanaman modal asing tahun 1967 liberalisme ekonomi sudah dimulai dan menemukan akselerasi yang eksponensial sejak reformasi 1998.
Pasca reformasi 1998-pun liberalisme politik dibuka lebar lebar dengan doktrin yang selalu dikampanyekan bahwa demokrasi sejati adalah demokrasi liberal, dan demokrasi liberal adalah jalan tol mencapai kesejahteraan dan kemajuan bersama. Seolah kita tak cukup percaya diri bahwa untuk berdemokrasi, kita sudah punya pijakan sendiri: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Liberalisme budaya hadir perlahan lahan tapi pasti, dan saat ini dapat kita saksikan ekspresinya dalam berbagai wacana dan tindakan sosial keseharian.
Boleh jadi kita menyalahkan para politisi untuk situasi saat ini yang sangat berwatak liberal, namun sebenarnya menurut saya yang paling berbahaya adalah paradigma keilmuan yang diajarkan di kampus kampus seantero negeri, kemudian menjadi dasar pemahaman/pijakan para lulusan PTN dan PTS untuk berperilaku, untuk menetapkan peraturan perundang-undangan, dan untuk mengambil keputusan keputusan di negara, bisnis, sosial kemasyarakata dan bahkan rumah tangga.
Secara intensif dibangun sistem kognitif, bila tidak disebut doktrin, kepada para mahasiswa di semua strata pada banyak disiplin ilmu ilmu sosial di PTN maupun PTS bahwa tata kelola yang baik dari suatu masyarakat identik dengan:
1. Penghormatan, bahkan pemujaan terhadap prinsip SELF INTEREST sebagai basis dan motif utama tindakan ekonomi, politik dan budaya individu maupun masyarakat. ALTRUISME tidak diberi tempat dan tidak diberi peran yang signifikan;
2. NEGARA harus terus berkurang perannya dan disaat yang sama PASAR menggantikan NEGARA untuk secara dominan mengatur dan mengelola banyak aspek kehidupan di masyarakat.
Lebih buruk lagi, yang dimaksud PASAR (ternyata) adalah PASAR yang didominasi kepentingan asing dan atau para agennya di tanah air;
3. INDIVIDUALISME dikedepankan dan memperoleh prioritas awal jauh sebelum SOLIDARITAS SOSIAL;
4. HAK adalah utama untuk diperjuangkan, sementara KEWAJIBAN dan TANGGUNG JAWAB SOSIAL sering diabaikan;
5. TUHAN dan AGAMA tidak perlu hadir dalam pengaturan dan pengendalian tata sosial kemasyarakatan;
6. Kebenaran adalah apa yang terjadi, empirik, “as it is”, “das Sein”. Teori dan pandangan normatif yang bicara “as it should be” atau “das Sollen”, dianggap tidak/kurang ilmiah.

 

Bila kita kaji seksama Notulensi Sidang BPUPKI dan sidang PPKI sepanjang Mei-Agustus 1945, maka 6 poin diatas bertentangan dan tidak sesuai dengan api atau ruh dari Pancasila dan UUD 1945 yang telah dirumuskan para pendiri NKRI dalam sidang sidang tersebut.
Sebagaimana kita diajarkan, bahwa fungsi ilmu setidaknya ada 3:
1. Membantu kita memahami realitas saat ini dan realitas yang sudah lewat 2. Memudahkan kita memprediksi realitas masa depan 3. Mengarahkan realitas masa depan melalui rekayasa sosial.
Terutama fungsi ilmu yang nomor 3 menjadi beresiko jauh dari cita cita Pancasila dan UUD 1945, bila paradigma ilmu yang dominan adalah 6 poin diatas.
Sebagai contoh dalam disiplin dan profesi yang saya tekuni (Akuntansi) sejak lama saya menyadari bahwa para dosen akuntansi di Indonesia terlalu banyak mengambil studi pascasarjana ke negara negara yang dikenal sebagai mazhab Anglo Saxon (Amerika, Australia, Inggris) sehingga paradigma dalam pendidikan akuntansi di tanah air menjadi proponen dari paradigma ilmu yang 6 poin diatas, atau singkatnya proponen dari liberalisme.
Karenanya saat 2002 saya memperoleh Letter of Acceptance dari Profesor di University of Melbourne untuk S3 disana dengan memperoleh beasiswa AUSAID, setelah shalat istikharah saya lebih memilih S3 ke Jerman dengan beasiswa DAAD, dilandasi motivasi agar ada perspektif lain/alternatif yang diperoleh mahasiswa saya di tanah air tentang bagaimana bekerjanya ilmu dan profesi Akuntansi dalam sebuah sistem sosial. Ada pandangan penyeimbang selain arus utama yang liberal. Bila kepada mahasiswa diberikan sudut pandang yang kaya dan beragam, saya yakin mereka akan lebih cerdas dan sehat dalam berkiprah secara intelektual, profesional dan sosial.
Juga dilandasi motivasi karena sistem sosial di Jerman saat ini relatif lebih mencerminkan nilai nilai yang diajarkan Pancasila dan Konstitusi Indonesia. Tidak ada maksud untuk mengatakan bahwa sistem sosial di Jerman adalah ideal, namun setidaknya Jerman bisa jadi satu studi kasus menarik tentang bagaimana rekayasa sosial bisa diarahkan, dan bagaimana Akuntansi berperan didalamnya sebagai institusi sosial strategis. Tentu ada lagi negara negara lain (seperti Swedia, Denmark, Norwegia, Finlandia, Austria dan Perancis) yang juga bisa dijadikan studi kasus dan bukti bahwa daya saing global dan kesejahteraan yang relatif merata tidak lahir dari liberalisme ekonomi.
Kemudian saat berlangsungnya Konvensi Nasional VI Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) tahun 2009, forum tertinggi profesi Akuntan selain kongres, dimana saat itu menjadi tonggak penting sejarah dengan keputusan untuk adopsi International Financial Reporting Standards (IFRS) menjadi standar akuntansi yang berlaku di Indonesia paling lambat mulai tahun 2012.
Saya sebagai Chairman/Ketua Panitia saat itu telah 2x mengusulkan kepada Dewan Pengurus Nasional IAI dalam rapat rapat persiapan Konvensi agar IAI tidak hanya fokus membahas WHAT dan HOW IFRS, melainkan yang lebih penting adalah WHY kita harus adopsi IFRS. Karena pertanyaan WHY akan banyak bicara kepentingan dalam praktek IFRS, akan banyak bicara ideologi. Namun pada kenyataannya forum Konvensi dan proses pendidikan akuntansi S1 di tanah air sejak Konvensi tersebut hingga saat ini lebih asyik membahas WHAT dan HOW IFRS. Enggan untuk membahas WHY. Tidakkah kita sesaat memiliki skeptisisme intelektual dan akademik bahwa praktek IFRS di tanah air dapat didomplengi oleh liberalisme? Bagaimana mengelola agar proses adopsi IFRS di tanah air dapat optimal mengakomodir kepentingan nasional dan kepentingan publik kita, ketimbang kepentingan pihak asing.
Kembali kepada liberalisme, terbukti sejak 1967 hingga saat ini liberalisme gagal dalam menciptakan keadilan sosial di Indonesia, alih alih menciptakan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi orang banyak dan fundamental struktur sosial yang kuat di Indonesia.
Dalam analisis keputusan, kita diajarkan untuk membedakan antara gejala dan sebab. Sebab pun kita bedakan antara sebab utama (akar masalah) dan sebab sampingan.

 

Menurut hemat saya, akar masalah dari berbagai gejala yang ada di Indonesia saat ini ada 3 secara berurutan:
1. Ketimpangan sosial yang parah; 2. Ketergantungan tinggi kepada kekuatan asing; 3. Budaya korupsi yang akut.

 

Pandangan dan sikap saya, liberalisme di Indonesia justru menciptakan, memperparah dan bukan mengobati 3 akar masalah tersebut diatas.
Ketimpangan sosial mengancam solidaritas sosial dan ketahanan nasional, memperlambat wujudnya demokrasi substantif, melestarikan politik uang, melanggengkan kekuasaan oligarki elit, dan menyuburkan praktek korupsi.
Sangat disayangkan bahwa para aktivis anti korupsi di tanah air jarang melakukan advokasi bahwa pemberantasan korupsi secara esensial dan strategis harus dimulai dengan memerangi ketimpangan sosial.
Juga disayangkan bahwa belum ada Presiden kita pasca reformasi 1998 yang serius menjadikan pemberantasan ketimpangan sosial sebagai agenda strategisnya yang utama. Saya duga karena memerangi ketimpangan sosial akan mengganggu kenyamanan para oligarki elit yang berkuasa, sementara untuk terpilih menjadi Presiden harus dapat dukungan atau membuat konsesi dengan para oligarki elit tersebut. Mendesain sebuah sistem politik untuk rekrutmen kepemimpinan nasional yang berani mati memerangi ketimpangan sosial dengan demikian menjadi sangat urgent.
Ketimpangan sosial yang parah di negeri kita juga membuat saya berhipotesis mengapa kelas menengah kita cenderung konservatif dalam melakukan perubahan sosial mendasar di Indonesia, karena akan banyak mengganggu kenyamanan mereka.

 

Dalam sebuah talkshow di Alif TV tahun 2012, saya sampaikan bahwa ketimpangan sosial dapat diberantas dengan tindakan afirmatif Presiden dan semua tim pemerintahnya yang berkuasa, setidaknya dalam lingkup agenda:
a. Kebijakan perpajakan yang lebih progresif, yang lebih berpihak bukan kepada orang kaya di tanah air;
b. Kebijakan alokasi kredit perbankan nasional yang lebih inklusif, lebih menjangkau masyarakat banyak;
c. Tata ulang kepemilikan tanah yang saat ini terkonsentrasi hanya di sebagian kecil rakyat Indonesia yang kaya;
d. Pemerataan akses dan pemerataan mutu pelayanan (non diskriminatif) untuk pendidikan dan kesehatan;
e. Pembangunan infrastruktur fisik yang dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat, dan bukan hanya oleh kalangan bisnis dan pemilik modal.

 

Tentu kita membutuhkan diskusi diskusi lanjutan yang lebih operasional untuk menjadikan 5 tindakan afirmatif tersebut diatas menjadi realistis untuk dieksekusi.
Pada intinya pergantian rezim politik setiap 5 tahun di tanah air tidak diikuti oleh pergantian paradigma haluan bernegara. Seperti iklan teh botol, siapapun presidennya, tetap liberalisme yang menjadi paradigma haluan negara, walau liberalisme terbukti gagal mewujudkan amanah konstitusi.
Kondisi Indonesia sudah mendesak membutuhkan alternatif paradigma haluan negara selain liberalisme yang lebih sesuai dengan api dan ruh Pancasila. Paradigma yang dapat menata ulang relasi Negara-Pasar, relasi Negara-Masyarakat Madani, serta relasi Individu-Kolektif Sosial dalam Masyarakat Madani.

 

Fastabiqul khairat
München, 14 Mei 2015

Tinggalkan Balasan