Bagaimana Bisa Sampai Ke Jerman?

Bagaimana Bisa Sampai Ke Jerman?

(Oleh: Alvita Simargi)

Kenalkan, namaku Alvita. Pada bulan September 2014, ketika aku merayakan ulang tahun ke-23, aku mendapat telepon dari kakak pertamaku tentang percobaan kelas bahasa Jerman di Jakarta barat. Tempat kursus yang bernama Gema Sprachenzentrum itu baru saja dibuka. Bermula dari kelas percobaan itu, aku dan kakakku, serta istrinya merasa tertarik dengan bahasa Jerman. Tetapi aku yang saat itu mahasiswi semester akhir tidak mempunyai cukup uang untuk mengikutinya, karena lesnya untuk 3 bulan atau 1 level memakan biaya 4 juta rupiah. Kakak kemudian menganjurkan agar aku melanjutkan kuliah program Master di Jerman dan dia mau menolong. Dengan bantuan dana dari kakakku, akhirnya kami mengikuti les bahasa Jerman bersama-sama.

Setelah beberapa lama mengurus skripsi S1, aku mengumpulkan informasi yang dibutuhkan untuk bisa kuliah Master di Jerman. Syarat yang terberat adalah uang jaminan hidup mahasiswa sebesar lebih dari 8.000 Euro. Memang uang itu akan digunakan untuk keperluan mahasiswa selama satu tahun di Jerman, tetapi jumlah itu harus sudah ada di muka dan disimpan di rekening di Deutsche Bank (bank nasional negara Jerman).

Lagi-lagi kakakku yang lebih rajin mencari informasi. Dia membaca tulisan tentang Au-pair. Dia pun berkata: “Coba saja dulu jadi Au-pair, karena kamu akan bisa tinggal dengan keluarga Jerman asli dan sekaligus mendapat les bahasa Jerman dengan ditanggung mereka. Ini bisa menjadi batu loncatan!” Aku pun yang penasaran akhirnya banyak membaca informasi tentang Au-pair di internet. Ternyata Au-pair adalah program pertukaran budaya melalui masa tinggal bersama sebuah keluarga Jerman selama satu tahun. Seorang Au-pair akan menjadi kakak asuh bagi anak-anak dari keluarga tamu. Tugas utama Au-pair adalah menjaga adik-adik asuhannya dan bermain bersama mereka.
Kemudian aku pun tertarik dan langsung membuat akun profil di website www.aupairworld.com. Melalui website itu kita bisa mencari dan melamar ke keluarga tamu. Ternyata hampir sama dengan melamar pekerjaan biasa, aku mengalami banyak penolakan, sampai hampir menyerah. Akhir tahun 2014 aku berhasil lulus S1. Aku pun berhasil mendapat sebuah keluarga tamu yang tinggal di kota Munich (München) setelah melakukan wawancara melalui Skype dan E-mail. Tetapi sayangnya kemudian mereka membatalkan lamaranku, dengan alasan Au-pair lamanya yang juga orang Indonesia memohon agar temannya yang dijadikan Au-pair mereka. Keluarga itu ingin agar aku menjadi Au-pair mereka di tahun selanjutnya. Aku yang sudah tidak sabar ingin ke Jerman kebetulan menerima tawaran dari keluarga lain yang tinggal di kota kecil Hitzacker, berjarak 1,5 jam dari kota besar Hamburg. Mereka ingin aku datang pada bulan September 2015 dan aku menyetujuinya. Setelah les bahasa Jerman selama sembilan bulan sampai level B1, aku berhenti, karena tempat lesnya pindah ke luar kota.

Pada pertengahan tahun 2015 aku iseng bekerja di sebuah kantor selama lima bulan, karena merasa bosan menunggu sampai bulan September, sambil sekaligus mengurus lamaran visa Au-pair di Kedutaan Jerman. Pada tanggal yang disepakati, akhirnya aku pun tiba di bandara Hamburg, Jerman. Aku dijemput oleh keluarga tamu. Mereka menyuruh aku beristirahat selama seminggu sambil menyesuaikan diri dengan waktu yang berbeda. Di rumah mereka, aku diberi kamar pribadi, makan bersama mereka, dan dianggap bagian dari keluarga mereka, bukan pembantu. Karena itu, sebagai Au-pair aku juga ikut andil dalam membersihkan rumah dan melakukan pekerjaan rumah yang ringan, seperti mencuci dan memasak.

alvita

Bersama adik asuh merayakan Halloween saat bekerja sebagai Aupair, Oktober 2015, Hitzacker

Aku menjaga tiga orang anak yang berusia 4, 6, dan 8 tahun selama enam jam sehari. Aku dibiayai les bahasa Jerman seminggu sekali dan mendapat uang jajan sebesar 260 Euro per bulan. Pada hari ulang tahun dan natal aku juga mendapat hadiah. Hadiahnya bukan hanya dari keluarga inti, tetapi juga dari nenek dan kakeknya anak-anak. Keluarga tamuku sangat baik. Walaupun ada perbedaan budaya dan mentalitas, tetapi itu bisa diatasi dengan diskusi. Seperti pekerjaan lain, aku pun menemukan kesulitan, terutama dalam menghadapi anak-anak jika mereka sedang nakal.

Sebagai Au-pair aku juga mendapat hak berhari libur sebanyak 24 hari dalam setahun. Semua aku gunakan untuk berlibur ke luar kota dan ke negara-negara tetangga Jerman. Selama menjadi Au-pair aku berusaha mendalami bahasa Jerman dan mencari cara agar bisa kuliah program S2. Pernah kudengar, kita bisa minta bantuan jaminan dari keluarga tamu, jika mereka beranggotakan 4 orang. Tetapi keluarga tamuku berjumlah tujuh orang, sehingga tidak bisa. Meminta bantuan dana juga tidak bisa, karena mereka harus membiayai lima orang anak dan ditambah membayar aku. Lagipula syarat kuliah salah satunya adalah memiliki sertifikat bahasa Jerman yang paling tinggi, yaitu sertifikat C1 atau DAF, sedangkan kemampuan bahasa Jermanku belum sampai di situ.

Beberapa bulan menjelang berakhirnya waktu kontrak Au-pair, aku mendengar dari teman tentang FSJ (Freiwiliges Soziales Jahr) atau program sukarelawan selama satu tahun. Karena aku masih ingin kuliah di Jerman, aku melamar di salah satu organisasi pengurus orang-orang cacat yang cukup besar di Hamburg bernama Leben Mit Behinderungen Hamburg. Kemudian aku diundang datang ke Hamburg untuk wawancara dan melihat langsung apa yang dilakukan pekerja bersama orang-orang cacat tersebut. Tidak berapa lama kemudian, aku diterima untuk menjadi sukarelawan di sana. Untuk urusan kontrak dan dokumen, organisasi tersebut bekerja sama dengan agen Internationaler Bund sebagai penyalur sukarelawan. Jadi aku mendaftar sebagai anggota di agen tersebut. Sebagai anggota kita tidak dipungut biaya apapun, karena mereka dibayar oleh organisasi. Sebagai FSJ, aku mendapat gaji pokok dan bantuan dana untuk sewa tempat, kartu transportasi, asuransi kesehatan, 26 hari libur, dan seminar selama 25 hari selama satu tahun kontrak. Kemudian aku diuntungkan lagi dengan program baru mereka, yaitu mendapatkan les bahasa Jerman yang sebelumnya tidak ada.

Untuk lebih detailnya, aku bekerja di tempat kerja orang-orang cacat, dari hari Senin sampai Jumat, pukul 08:00-16:00. Di sini aku bekerja dalam tim bersama pekerja lainnya. Kami menemani mereka dalam bekerja dan urusan toilet, juga menyiapkan sarapan dan makan siang (makan siang dipesan, kami tidak memasak). Sebenarnya kontrak satu tahunku sudah habis, tetapi FSJ boleh memperpanjangnya 6 bulan.

Sekarang ini aku memperpanjang kontrakku sampai akhir Februari 2018. Dari semua ini, aku belajar banyak mengenai bahasa dan budaya Jerman serta perbedaannya dengan Indonesia. Aku membatalkan niatku untuk kuliah dan berencana untuk sekolah perawat di Jerman setelah FSJ.

Tinggalkan Balasan